BAB I

Pendahuluan

  1. Latar Belakang

Sosok nabi Muhammad sebagai utusan Allah telah menjadikan beliau sebagai panutan dan tauladan bagi umat Islam. Semua ucapan, perbuatan atau ketetapan beliau dijadikan patokan dan sumber agama atau dalam hal ini sering disebut sebagai “sunnah”. Yangmana sunnah tersebut bukan hanya memuat tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama saja. Akan tetapi, sunnah juga telah memuat beberapa persoalan tentang kenegaraan, kehidupan sosial ataupun medis.

Salah satu kemukjizatan yang diperoleh nabi Muhammad adalah dengan kevalidan atas apa yang telah beliau ucapkan (sunnah nabi). Salahsatunya pada aspek medis, yangmana pada 14 abad yang lalu, beliau telah membahas mengenai kedokteran yang pada masa itu belum ada keilmuan yang secara khusus mempelajari tentang medis. Sebagaimana contoh pada salah satu sabda nabi tentang “keutamaan hati sebagai pusat tubuh”.

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Para ilmuan telah membuktikan kevalidan dari teks hadis di atas. Yangmana memang hadis tersebut benar dalam segi kedokteran. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat atau salah kaprah mengenai kata Al-Qalbu dalam teks hadis tersebut. Yakni kata Al-Qalbu tersebut diartikan dengan “hati”.

Seiring bergantinya zaman dan berbagai penelitian yang dilakukan, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa kata “qalbu” pada hadis tersebut bukanlah hati. Akan tetapi kata tersebut berarti otak. Oleh karena itu, perlulah pengkajian mengenai teks hadis tersebut agar didapatkan keilmuan yang dimaksudkan pada hadis tersebut.

  1. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah, di antaranya:

  1. Bagaimana teks hadis tentang “hati sebagaia pusat tubuh”?
  2. Bagaimana kualitas teks hadis tersebut?
  3. Bagaiman penjelasan dan pembuktian sains terhadap hadis tersebut?

BAB II

Pembahasan

  1. Teks Hadis

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ      : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ[1]

Telah menceritakan kepada kami Abu Nuaim, telah menceritakan kepada kami Zakariya dari ‘Amir berkata; aku mendengar  Rasulullah SAW bersabda: “yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan  barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada  perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh kedalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkn-Nya. Dan ketahuilah bahwa setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabula rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.[2]

 

 

  1. Takhrij Hadis

Melalui software maktabah syamilah, teks hadis tersebut pemakalah temukan pada:

No.

Sumber

Bab

No. Hadis

1.

Shohih Bukhori

fadhlu man istabroa li dinihi

50

2.

Shohih muslim

akhadza al-halal wa tarku asy-syubhat

2996

3.

Musnad ahmad

haditsu an-nu’man bin Basyir ‘an an- nabi

17649

4.

Musnad ahmad

al-juz’u tsalatsun

18374

5.

Sunan Ibnu majah

al-wuqufu ‘inda asy-syubhat

3974

6.

Sunan ad-darimi

bab fi al-halal bayyinun wa al-haram bayyinun

2531

Selain pada tabel di atas, hadis tersebut juga ditemukan pada kitab lain dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi makna yang terkandung sama, yakni pada Musnad Ahmad bab haditsu an-nu’man bin Basyir ‘an an- nabi, juz 37 dengan nomor hadis 17686 dan juga pada kitab yang sama dengan nomor hadis 18412. [3]

  1. Tahqiq

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hadis tersebut bukan hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja akan tetapi juga diperkuat dengan adanya riwayat2 lain, bahkan juga terdapat pada riwayat imam Muslim, sehingga hadis tersebut bisa dikatan sebagai riwayat muttafaq alaih. Dalam artian, bahwa hadis tersebut merupakan hadis shohih yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang bersambung sanadnya dan tsiqah. Sehingga hadis tersebut dapat dijadikan patokan dalam kehidupan kita.

  1. Makna Mufradat

الْجَسَدُ: tubuh

مُضْغَةً: segumpal darah

الْقَلْبُ: jantung, yakni organ di dalam tubuh

  1. Penjelasan dan Pembuktian sains terhadap isi kandungan hadis

Disebutkan dalam Fathul Baari bahwa penjelasan mengenai hadis tersebut adalah:

مُضْغَةً (segumpal darah) dinamakan hati, karena sifatnya yang selalu berubah atau karena dia adalah bagian badan yang paling bersih atau juga karena dia diletakkan terbalik dalam badan. Kemudian mengenai lafadz إِذَا صَلَحَتْ dan إِذَا فَسَدَتْ bahwa, penggunana kata idza menunjukkan hal tersebut biasa terjadi dan bisa juga berarti “jika” seperti yang ada diriwayat ini. Dikhususkannya hati dalam hal ini, karena hati adalah pemimpin badan. Jika pemimpinnya baik, maka rakyat pun akan baik, demikian sebaliknya.

Hadis ini mengandung peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk memperbaikinya dan isyarat bahwa nafkah yang baik memiliki efek terhadap hati, yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah. Pendapat tersebut dapat dijadikan dalil bahwa akal berada di hati berdasarkan firman Allah “mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” dan firman Allah, “sesungguhnya dalam semua itu terdapat peringatan bagi yang memiliki hati”. Para ahli tafsir mengartikan hati dengan “akal”. Adapun disebutkannya hati, karena hati adalah tempat bersemayamnya akal.[4]

Sehingga dari penjelasan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makna yang dimaksud pada kata الْقَلْبُ adalah hati. Akan tetapi, berbeda dengan pendapat Zaghlul An-Najjar yang menyatakan bahwa yang dimaksud pada lafadz الْقَلْبُ pada lafadz tersebut dalam bukunya Pembuktian Sains dalam Sunnah adalah jantung. Dengan beralasan bahwa مُضْغَةً merupakan segumpal darah yang vital bagi tubuh, yakni jantung. Selain itu juga, di dalam Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis disebutkan bahwa jantung merupakan tiang utama pada tubuh makhluk  hidup (manusia) yang ada di dalam rongga dada.[5]

Jantung merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk memompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian memompanya keseluruh bagian tubuh. Jantung dalam hal ini mensuplai triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari makanan. Sehingga jika ia sampai rusak atau macet, maka seluruh sel tubuh pun akan ikut rusak.[6]

Jantung sebagai organ tubuh merupakan organ vital di dalam tubuh manusia yang berbentuk bulat seperti buah pir; terdapat di dalam ruang dada; besarnya tidak lebih dari segenggam tangan; beratn jantung untuk pria sekitar 325 gram, sedangkan untuk perempuan  sekitar 245gram atau bisa dikatakan berbobot maksimal tidak lebih dari 3 kilogram. Dalam satu menit jantung melakukan sekitar 70 denyutan atau detakan atau sekitar 100.000 denyutan dalam sehari untuk memompa 5 liter darah dalam setuap detiknya atau 7.200 liter dalam satu harinya melalui jaringan rumit yang terdiri dari pembuluh nadi, urat-urat dan saluran kepiler darah yang panjangnya mencapai ribuan kilometer. Jaringan ini berfungsi menyalurkan dan mengalirkan darah bersih kepada setiap celah kehidupan di dalam tubuh dan sekaligus membuang darah kotor.[7]

Isyarat yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah apabila jantung baik maka proses sirkulasi darah akan menjadi baik dan sehat, begitu seluruh bagian tubuh, namun apabila ia rusak, maka rusaklah pula seluruh organ tubuh, sudah dibuktikan secara ilmiyah. Yakni, jika jantung sehat, maka sirkulasi darah akan baik dan setiap sel hidup di dalam tubuh pun  akan mendapatkan bagian darah yang membawa zat-zat makanan dan oksigen. Dengan oksigen ini, pembakaran zat-zat makanan menjadi sempurna dan menghasilkan energi dan kekuatan. Sebaliknya, ketika jantung menderita suatu penyakit atau bahkan rusak, maka sirkulasi darah juga mengalami kemacetan, bahkan berhenti samasekali, sehingga proses distribusi zat-zat makanan dan oksigen ke seluruh bagian tubuh akan mengalami gangguan, bahkan tidak berjalan samasekali.

Terdapat persepsi lain mengenai hati (jantung) dalam hadis di atas, yakni jantung yang dimaksud bukanlah separti gambaran yang telah disebutkan di atas, dalam artian bahwa الْقَلْبُ bukanlah yang berbentuk organ. Akan tetapi  di sana lebih sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perasaan, nalar, pemikiran, pemahaman, keyakinan, pilar-pilar akhlak dan rambu-rambu perilaku. Kaitannya dengan jantung organik, yakni bahwa jantung organik ini tetap ada kaitannya dengan masalah-masalah mental tersebut dengan bentuk keterkaitan yang belum dapat diketahui orang banyak, melainkan hanya dapat dilihat oleh pemikir al-Ghazali yang berpandangan bahwa eksistensi maknawi (abstrak) atau perasaan ketuhanan memiliki kaitan dengan hati organik dengan model keterkaitan yang tidak diketahui pasti isinya. Al-Ghazali bahkan berpendapat bahwa hati maknawi inilah yang merupakan hakikat manusia. Sebab ia menjadi bagian dari manusia yang mengetahui, memahami dan menalar, juga yang dikhithabi (diberi tanggungjawab), disiksa, ditegur, dicerca dan dimintai pertanggungjawaban. Hati maknawi terkait dengan ruh, namun pada hakikatnya tetap merupakan rahasia yang terkunci rapat. Oleh karena itu, jika pusat emosi, nalar, pemikiran, pemahaman, keyakinan dan pilar-pilar moral dan rambu-rambu etika baik, maka akan memperoleh hakikat diri manusia sebagai makhluk yang mengetahui dan memahami. Sebaliknya, jika rusak, maka semuanya menjadi rusak.

Selain pernyataan-pertanyaan di atas, ternyata terdapat pula pemaknaan kata “Qalbu” yang lain, yakni kata “Qalbu” tersebut berarti otak. Seperti yang diungkapkan Hendrawan Nadesul, seorang dokter sekaligus seorang penulis produktif, bahwa “otak manusia-lah yang menentukan niat, pikir, emosi, dan prilaku manusia”. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Pasiak, yang menyatakan bahwa “orang boleh saja terganggu jantungnya, ginjalnya kurang berfungsi, paru-parunya bocor, kangker pada hatinya. Tetapi gangguan-gangguan itu tidak sampai mengubah kepribadian mereka. Mereka tidak menjadi “orang lain”. Lain halnya bila otak mereka sakit. Kerusakan otak yang parah akan menimbulkan perubahan kepribadian. Salah satunya seperti pasien stroke yang sebelumnya periang menjadi pemurung.”[8]

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud pada lafadz الْقَلْبُ dalam hadis diatas adalah organ tubuh yang vital. Dalam hal ini terdapat persepsi yang berbeda, yakni ada yang mengatkan bahwa yang dimaksud adalah jantung. Mengingat fungsi jantung sangat penting bagi tubuh. Selain itu juga dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bersifat immateri, yakni hati yang berhubungan dengan emosional manusia. Sehingga jika dilihat kembali bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara syarh hadis dengan penjelasan yang diungkapkan oleh Zaghlul An-Najjjar, bahwa lafadz الْقَلْبُ adalah hati, yakni hati yang bersifat immateri. Akan tetapi terdapat pernyataan lain bahwa yang dimaksud hadis tersebut adalah otak, yangmana otak merupakan awal langkah yang menentukan niat, pikir, emosi dan perilaku manusia.

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa hadis tersebut memuat mengenai eksistensi الْقَلْبُ sebagai organ tubuh yang sangat berperan penting pada tubuh. Sebagaimana yang dipaparkan di atas bahwa sebenarnya lafadz الْقَلْبُ bisa diartikan sebagai dimensi fisik yang berfungsi sebagai organ tubuh yang dapat diraba dan dalam dimensi spiritualnya sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak terlihat.sebagai organ fisik. Atau juga dapat diartikan bahwa hati merupakan pilar kehidupan tubuh, sedangkan sebagai organ maknawi hati merupakan pilar perasaan, keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, akhlak dan budi pekerti. Serta juga dapat diartikan sebagai otak, yangmana otak sangat berperan bagi tubuh. Adapun mengenai kualitas hadis tersebut merupakan hadis shohih yang bisa dijadikan sebagai patokan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Jakarta: Pustaka Azzam. 2012

An-Najjar, Zaghlul. Pembuktian Sains dalam Sunnah 1. Tej. Zainal Abidin dkk. Jakarta: Amzah. 2006

Thalbah, Hisyam. Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis “Pengobatan dan Makanan”. Tej. Syarif Hadde Masyah. Bekasi: Sapta Sentosa. 2008

Sutisna, Ading. Qalbu Bukan Hati dalam http://vet02ugm.wordpress.com

Software Lidwa Hadis

Software Maktabah Syamilah


[1] Software Lidwa hadis

[2] Software Lidwa hads

[3] Software Maktabah Syamilah

[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), hlm. 230

[5] Hisyam Thalbah, Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis “Pengobatan dan Makanan”. Tej. Syarif Hade Masyah (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008) hlm.63

[6] Zaghlul An-Najjar, tej. Zainal Abidin dkk, Pembuktian Sains dalam Sunnah, Buku I (Jakarta: Amzah, 2006),  hlm. 60

[7] Zaghlul An-Najjar, tej. Zainal Abidin dkk, Pembuktian Sains dalam Sunnah, hlm. 62

[8] Ading Sutisna, Qalbu Bukan Hati dalam http://vet02ugm.wordpress.com Yang diakses pada tanggal 27 Pebruari 2013